Selasa, 23 April 2019

Upaya Memaksimalkan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 


Indonesia merupakan negara dengan lautan terluas didunia. Dengan total luas perairan yang mencapai 8.800.000 km persegi atau sekitar 2/3 dari luas wilayah keseluruhan, Indonesia dikaruniai kekayaan laut yang melimpah. Indonesia memiliki garis pantai luar sepanjang 95.181 km yang merupakan terpanjang keempatdi dunia. Dengan demikian negara kepulauan terbesar di dunia tentunya memiliki potensi ekonomi yang luar biasa.


Secara kuantitatif potensi lestari perikanan Indoensia pada data tahun 2011 mencapai 6,5 juta ton per tahun. Jika dikonversikan dalam mata uang maka jumlah tersebut senilai 1,2 triliun dolar. Angka tersebut merupakan pencapaian dengan pemanfaatan sekitar 77,38 %[1].
Sayangnya potensi yang dimiliki Indonesia ini juga menjadi ancaman tersendiri. Pihak asing bisa tertarik secara oportunis untuk memanfaatkan potensi ini. Ketergiuran mereka dalam menikmati hasil laut Indonesia dapat menjadi masalah yang gawat apabila penjaga keamanan tidak menanganinya dengan serius. Sebenarnya hal ini telah menjadi polemik sejak zaman orde lama. Ketidakmampuan penjaga perbatasan NKRI dalam menjalankan tugasnya dimanfaatkan nelayan asing untuk mengambil ikan diperairan Indonesia.

Pelanggaran nelayan asing

Banyak kasus pencurian ikan yang telah terjadi di Indonesia. Tahun 2012, Direktorat Jendral Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan pemeriksaan sebanyak 4.326 kapal perikanan. Dari jumlah itu ditangkap sejumlah 112 kapal perikanan diduga melakukan tindak pelanggaran, 70 merupakan kapal ikan asing dan 42 kapal ikan Indonesia. PSDKP juga mencatat selama periode 2005-2012 sebanyak 1.277 kapal diduga melakukan illegal, unreported and unregulated (IUU), dimana 714 merupakan kapal asing dan telah  ditindaklanjuti ke dalam proses hukum (ad hoc). PSDKP menyatakan bahwa dari seluruh kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan, 99,5% melakukan IUU. Apabila dinilai kerugiannya dalam satu dekade tersebut, kerugian atas pencurian oleh kapal asing sekitar Rp 30 triliun per tahun. Jika dihitung dengan harga dua dolar tiap kilogramnya, hal ini berarti ada 166 ton ikan yang hilang tiap tahunnya[2].



Menjaga perbatasan wilayah

Lemahnya sistem keamanan yang melindungi teritorial kelautan Indonesia menjadi faktor utama permasalahan tersebut. Bukti lemahnya sistem keamanan laut Indonesia adalah sampai saat ini Indonesia tidak memiliki sistem penginderaan kapal yang dikelola secara mandiri. Sebagai gambaran, apabila ada kapal melintas di Selat Malaka, yang sebagian masuk alur laut kepulauan Indonesia bagian barat, kontrol radar yang mengawasi berada di Changi, Singapura dan otomatis bisa diakses di Tokyo hingga San Fransisco.[6]

Masalah ini ditambah dengan penegakan hukum dan keamanan di Indonesia yang masih burukdan kurangnya koordinasi antar lembaga yang mempunyai andil di bidang kelautan. Belum lagi tumpang-tindih (overleapping) tugas yang beririsan antar lembaga seperti Polisi Air, Airud, Angkatan Laut, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea dan Cukai, hingga Adimnistrator Pelabuhan (Adpel). Kegiatan  pemeriksaan dan penangkapan kapal niaga pun menjamur, bahkan dapat mengganggu operasi pelayaran nasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini pun dapat meningkatkan risiko terjadinya pungutan liar.

Angkatan Laut memiliki andil yang paling besar dalam menjaga teritorial kelautan Indonesia. Mereka harus memastikan tak ada satu pun kapal asing yang melewati setiap jengakal perbatasan. Sebagai tanggung jawab pelayanan, khususnya dalam hal ini petani. Angkatan Laut harus melakukan transformasi dalam penyelamatan wilayah kelautan dalam negeri.

Menanggapi hal ini TNI AL bisa memulai dengan mempersenjatai diri dan mengoptimalkan pengawasan perbatasan dengan alat navigasi termukhtakhir dan satelit.Petugas patroli laut harus selalu siap siaga menjaga perbatasan dan memastikan kegiatan penangkapan ikan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.Pemerintah juga harus memaksimalkan operasi patroli udara yang mempunyai jangkauan lebih luas. Penggunaan pesawat dapat meningkatkan efisiensi dalam pengambilan data di seluruh Indonesia dengan waktu 51, 4 jam (dalam 7 hari). Terlebih untuk melakukan detailisasi pada daerah dengan tingkat aktivitas ilegal tinggi seperti Natuna dan Arafuru. Selain itu TNI AL harus meningkatkan daerah jangkauan patroli dimana sampai saat ini patroli laut baru mencapai 70 mil laut dari zona ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil laut.[7]
Terkadang upaya pertahanan perbatasan kenegaraaan dapat membuat ketegangan hubungan antar negara. Namun tak seharusnya Indonesia ragu dan mengalah untuk urusan membela kesejahteraan rakyat, dalam hal ini para nelayan. Pemereintah harus berani mengambil sikap tegas agar tidak direndahkan di mata negara-negara asing. Menilik kembali upaya pertahanan wilayah perairan tahun 1965, bahkan Indonesia sempat memutuskan hubungan dengan China. Keberanian ini diputuskan karena banyak aturan-aturan hukum yang merugikan kedaulatan negara. Terlebih lagi dalam penetapan dua titik Natuna sebaga perbatasan wilayah China yang menjadikan banyak kapal-kapal berbendera asing lalu lalang melintas dengan begitu mudah di laut Indonesia.

Laut seharusnya tidak menjadi halangan bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan penduduknya disatukan oleh perairan laut. Dengan demikian kebijakan-kebijakan perekonomian yang diterapkan Indonesia semestinya menggunakan pendekatan basis kelautan. Dengan keamanan yang terkendali, para nelayan pribumi tidak perlu khawatir dengan nelayan asing yang hendak mengambil alih perairan tempat mereka berlayar. Sehingga para nelayan bisa fokus untuk menekuni mata pencahariannya. Namun kedepannya hal ini juga perlu didukung dengan usaha pengembangan pemberdayaan nelayan.

Sudah saatnya mereka mengarungi samudra dengan cara yang modern. Selain mempercanggih fasilitas penangkapan ikan, pemerintah juga perlu melatih SDM penggunanya agar siap bersaing dengan nelayan asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar